Penulis: admin

  • Candi Mendut Pemerintahan Raja Indra Dinasti Syailendra

    Candi Mendut (bahasa Jawa: ꦕꦟ꧀ꦝꦶꦩꦼꦤ꧀ꦢꦸꦠ꧀, t. Candi Mendut) adalah sebuah candi bercorak Buddha. Candi yang terletak di Desa Mendut, Jalan Mayor Kusen Kota Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah ini, letaknya berada sekitar 3 kilometer dari Candi Borobudur.7°36′17.17″S 110°13′48.01″E

    Masa pembuatan

    Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari dinasti Syailendra. Di dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama wenuwana yang artinya adalah hutan bambu. Oleh seorang ahli arkeologi Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut.

    Arsitektur candi

    Bahan bangunan candi sebenarnya adalah batu bata yang ditutupi dengan batu alam. Bangunan ini terletak pada sebuah basement yang tinggi, sehingga tampak lebih anggun dan kokoh. Tangga naik dan pintu masuk menghadap ke barat-daya. Di atas basement terdapat lorong yang mengelilingi tubuh candi. Atapnya bertingkat tiga dan dihiasi dengan stupa-stupa kecil. Jumlah stupa-stupa kecil yang terpasang sekarang adalah 48 buah.

    Hiasan di candi Mendut

    Hiasan yang terdapat pada Candi Mendut berupa hiasan yang berselang-seling. Dihiasi dengan ukiran makhluk-makhluk kahyangan berupa dewata gandarwa dan apsara atau bidadari, dua ekor kera dan seekor garuda.

    Pada kedua tepi tangga terdapat relief-relief cerita Pancatantra dan jataka.

    Dinding candi dihiasi relief Bodhisatwa di antaranya Awalokiteśwara, Maitreya, Wajrapāṇi dan Manjuśri. Pada dinding tubuh candi terdapat relief kalpataru, dua bidadari, Harītī (seorang saksi yang bertobat dan lalu mengikuti Buddha) dan Āţawaka.

    Relief-relief

    Relief 1 (Brahmana dan seekor kepiting)

    Pada relief ini terdapat lukisan cerita hewan atau fabel yang dikenal dari Pancatantra atau jataka. Cerita lengkapnya disajikan di bawah ini:

    Maka adalah seorang brahmana yang datang dari dunia bawah dan bernama Dwijeswara. Ia sangat sayang terhadap segala macam hewan.

    Maka berjalanlah dia untuk bersembahyang di gunung dan berjumpa dengan seekor kepiting di puncak gunung yang bernama Astapada, dibawa di pakaiannya. Maka kata sang brahmana: “Kubawanya ke sungai, sebab aku merasa kasihan.” Maka ia pun berjalan dan berjumpa dengan sebuah balai peristirahatan di tepi sungai. Lalu dilepaskan si kepiting oleh sang brahmana. Si Astapada merasa lega hatinya. Sedangkan sang brahmana beristirahat di balai-balai ini. Ia tidur dengan nikmat, hatinya nyaman.

    Adalah seekor ular yang berteman dengan seekor gagak dan merupakan ancaman bagi sang brahmana. Maka kata si ular kepada kawannya si gagak: “Jika ada orang datang kemari untuk tidur, ceritakan padaku, aku mangsanya.”

    Si gagak melihat sang brahmana tidur di balai-balai. Segeralah keluar si ular katanya: “Aku ingin memangsa matanya kawan.” Begitulah perjanjian mereka.

    Si kepiting yang dibawa oleh sang brahmana mendengar. Lalu kata si kepiting di dalam hati: “Aduh, sungguh buruk kejahatan si gagak dan ular. Sama-sama buruk kelakuannya.” Terpikir olehnya bahwa si kepiting berhutang budi kepada sang brahmana. Ia ingin melunasi hutangnya, maka pikirnya. “Ada siasatku, aku akan berkawan dengan keduanya.” Maka ujar si kepiting, “Wahai kedua kawanku, akan kupanjangkan leher kalian, supaya lebih nikmat kalau kalian ingin memangsa sang brahmana.” – “Aku setuju dengan usulmu, laksanakanlah dengan segera.” Begitulah kata si gagak dan si ular keduanya. Kedua-keduanya ikut menyerahkan leher mereka dan disupit di sisi sana dan sini oleh si kepiting dan keduanya langsung putus seketika. Matilah si gagak dan si ular

    Relief 2 (Angsa dan kura-kura)

    Pada relief ini terdapat lukisan cerita hewan atau fabel yang dikenal dari Pancatantra dan jataka. Cerita lengkapnya disajikan di bawah ini. Namun cerita yang disajikan di bawah ini agak berbeda versinya dengan lukisan di relief ini:

    Ada kura-kura bertempat tinggal di danau Kumudawati. Danau itu sangat permai, banyak tunjungnya beraneka warna, ada putih, merah dan (tunjung) biru.

    Ada angsa jantan betina, berkeliaran mencari makan di danau Kumudawati yang asal airnya dari telaga Manasasara.Adapun nama angsa itu, si Cakrangga (nama) angsa jantan, si Cakranggi (nama) angsa betina. Mereka itu bersama-sama tinggal di telaga Kumudawati.

    Maka sudah lamalah bersahabat dengan kura-kura. Si Durbudi (nama) si jantan, sedangkan si Kacapa (nama) si betina.

    Maka sudah hampir tibalah musim kemarau. Air di danau Kumudawati semakin mengeringlah. [Kedua] angsa, si Cakrangga dan si Cakranggi lalu berpamitan kepada kawan mereka si kura-kura; si Durbudi dan si Kacapa. Katanya:

    “Wahai kawan kami meminta diri pergi dari sini. Kami ingin pergi dari sini, sebab semakin mengeringlah air di danau. Apalagi menjelang musim kemarau.Tidak kuasalah kami jauh dari air. Itulah alasannya kami ingin terbang dari sini, mengungsi ke sebuah danau di pegunungan Himawan yang bernama Manasasana. Amat murni airnya bening dan dalam. Tidak mengering walau musim kemarau sekalipun. Di sanalah tujuan kami kawan.” Begitulah kata si angsa.Maka si kura-kura pun menjawab, katanya:

    “Aduhai sahabat, sangat besar cinta kami kepada anda, sekarang anda akan meninggalkan kami, berusaha untuk hidupmu sendiri.

    Bukankah (keadaannya) sama kami dengan anda, tidak bisa jauh dari air? Ke mana pun anda pergi kami akan ikut, dalam suka dan duka anda. Inilah hasil persahabatan kami dengan kalian.

    Angsa menjawab: “Baiklah kura-kura. Kami ada akal. Ini ada kayu, pungutlah olehmu tengah-tengahnya, kami akan memagut ujungnya sana dan sini dengan isteriku. Kuatlah kami nanti membawa terbang kamu, [hanya] janganlah kendor anda memagut, dan lagi jangan berbicara. Segala yang kita atasi selama kami menerbangkan anda nanti, janganlah hendaknya anda tegur juga. Jika ada yang bertanya jangan pula dijawab. Itulah yang harus anda lakukan, jangan tidak mentaati kata-kata kami. Apabila anda tidak mematuhi petunjuk kami tak akan berhasil anda sampai ke tempat tujuan, akan berakhir mati.”Maka demikianlah kata angsa.

    Lalu dipagutlah tengah-tengah kayu itu oleh si kura-kura, ujung dan pangkalnya dipatuk oleh angsa, di sana dan di sini, laki bini, kanan kiri.Segera terbang dibawa oleh angsa, akan mengembara ke telaga Manasasara, tempat tujuan yang diharapkannya. Telah jauh terbang mereka, sampailah di atas ladang Wilanggala.Maka adalah anjing jantan dan betina yang bernaung di bawah pohon mangga. Si Nohan nama si anjing jantan, si Babyan nama si betina. Maka mendongaklah si anjing betina, melihat si angsa terbang, keduanya sama menerbangkan kura-kura. Lalu katanya.“Wahai bapak anakku, lihatlah itu ada hal yang amat mustahil. Kura-kura yang diterbangkan oleh angsa sepasang!”Lalu si anjing jantan menjawab: “Sungguh mustahil kata-katamu. Sejak kapan ada kura-kura yang dibawa terbang oleh angsa? Bukan kura-kura itu tetapi tahi kerbau kering, sarang karu-karu! Oleh-oleh untuk anak angsa, begitulah adanya!” Begitulah kata si anjing jantan.

    Terdengarlah kata-kata anjing itu oleh kura-kura, marahlah batinnya. Bergetarlah mulutnya karena dianggap tahi kerbau kering, sarang karu-karu.

    Maka mengangalah mulut si kura-kura, melepas kayu yang dipagutnya jatuhlah ke tanah dan lalu dimakan oleh serigala jantan dan betina.Si angsa malu tidak dipatuhi nasihatnya. Lalu mereka melanjutkan perjalanan melayang ke danau Manasasara.

     Relief 3 (Dharmabuddhi dan Dustabuddhi)

    Cerita ini mengenai dua orang sahabat anak para saudagar. Suatu hari Dharmabuddhi menemukan uang dan bercerita kepada kawannya Dustabuddhi. Lalu mereka berdua menyembunyikan uang ini di bawah sebuah pohon. Setiap kali mereka membutuhkan uang, Dharmabuddhi mengambil sebagian dan membagi secara adil. Tapi Dustabuddhi tidak puas dan suatu hari mengambil semua uang yang tersisa. Ia lalu menuduh Dharmabuddhi dan menyeretnya ke pengadilan. Tetapi akhirnya Dustabuddhi ketahuan dan dihukum.

    Relief 4 (Dua burung betet yang berbeda)

    Relief ini melukiskan cerita dua burung betet bersaudara namun berbeda kelakuannya karena yang satu dididik oleh seorang penyamun. Sedangkan yang satu oleh seorang pendeta.

    Vihara Mendut

    Persis di sebelah Candi Mendut terdapat Vihara Mendut. Wihara ini dulunya adalah sebuah biara Katolik yang kemudian tanahnya dibagi-bagi kepada rakyat pada tahun 1950-an. Lalu tanah-tanah rakyat ini dibeli oleh sebuah yayasan Buddha dan di atasnya dibangun wihara. Dalam vihara ini terdapat asrama, tempat ibadah, taman, dan beberapa arca Buddha. Beberapa di antaranya adalah sumbangan dari Jepang

  • Candi Prambanan “Candi Roro Jonggrang”

    Candi Prambanan (bahasa Jawa: ꦕꦟ꧀ꦝꦶꦥꦿꦩ꧀ꦧꦤꦤ꧀, translit. Caṇḍi Prambanan) adalah bangunan candi bercorak agama Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 Masehi. Candi yang juga disebut sebagai Rara Jonggrang ini dipersembahkan untuk Trimurti, tiga dewa utama Hindu yaitu dewa Brahma sebagai dewa pencipta, dewa Wisnu sebagai dewa pemelihara, dan dewa Siwa sebagai dewa pemusnah. Berdasarkan prasasti Siwagrha nama asli kompleks candi ini adalah Siwagrha (bahasa Sanskerta yang bermakna ‘Rumah Siwa’), dan memang di garbagriha (ruang utama) candi ini bersemayam arca Siwa Mahadewa setinggi tiga meter, dikarenakan aliran Syaiwa yang mengutamakan pemujaan dewa Siwa di candi ini.

    Kompleks percandian Prambanan secara keseluruhan terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta, tetapi pintu administrasinya terletak di Jawa Tengah. Hal ini yang membuat Candi Prambanan terletak di 2 tempat yakni di Desa Bokoharjo, Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta,dan di Tlogo, Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, atau kurang lebih 17 kilometer timur laut dari Kota Yogya, 50 kilometer barat daya dari Kota Surakarta dan 120 kilometer selatan dari Kota Semarang, persis di perbatasan antara Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah.

    Candi ini adalah termasuk Situs Warisan Dunia UNESCO, candi Hindu terbesar di Indonesia, sekaligus salah satu candi terindah di Asia Tenggara. Arsitektur bangunan ini berbentuk tinggi dan ramping sesuai dengan arsitektur Hindu pada umumnya dengan candi Siwa sebagai candi utama memiliki ketinggian mencapai 47 meter menjulang di tengah kompleks gugusan candi-candi yang lebih kecil.Sebagai salah satu candi termegah di Asia Tenggara, candi Prambanan menjadi daya tarik kunjungan wisatawan dari seluruh dunia.

    Menurut prasasti Siwagrha, candi ini mulai dibangun pada sekitar tahun 850 masehi oleh Rakai Pikatan, dan terus dikembangkan dan diperluas oleh Balitung Maha Sambu, pada masa Kerajaan Medang Mataram.

    Etimologi

    Nama Prambanan, berasal dari nama desa tempat candi ini berdiri, diduga merupakan perubahan nama dialek bahasa Jawa dari istilah teologi Hindu Para Brahman yang bermakna “Brahman Agung” yaitu Brahman atau realitas abadi tertinggi dan teragung yang tak dapat digambarkan, yang kerap disamakan dengan konsep Tuhan dalam agama Hindu. Pendapat lain menganggap Para Brahman mungkin merujuk kepada masa jaya candi ini yang dahulu dipenuhi oleh para brahmana. Pendapat lain mengajukan anggapan bahwa nama “Prambanan” berasal dari akar kata emban dalam Bahasa Jawa yang bermakna menanggung atau memikul tugas, merujuk kepada para dewa Hindu yang mengemban tugas menata dan menjalankan keselarasan jagat.

    Nama lain dari Prambanan dapat berarti 5 (lima) gunung yang dalam bahasa Khmer/Kamboja 5 (lima) adalah Pram dan banam adalah gunung (ប្រាំភ្នំ). Hal ini menggambarkan 5 puncak gunung dari Himalaya di India. Mengingat pada saat yang sama dalam kronik Khmer bahwa Bangsa Jawa pernah menjajah Khmer selama 200 tahun dan Jayawarman ke 2 yang pernah di Jawa merupakan pahlawan yang membebaskan Khmer dari dominasi Jawa.

    Nama asli kompleks candi Hindu ini adalah nama dari Bahasa Sanskerta; Siwagrha (Rumah Siwa) atau Siwalaya (Alam Siwa), berdasarkan Prasasti Siwagrha yang bertarikh 778 Saka (856 Masehi). Trimurti dimuliakan dalam kompleks candi ini dengan tiga candi utamanya memuliakan Brahma, Siwa, dan Wisnu. Akan tetapi Siwa Mahadewa yang menempati ruang utama di candi Siwa adalah dewa yang paling dimuliakan dalam kompleks candi ini.

    1. Gronemen (1887) berpendapat bahwa nama Prambanan berasal dari kata ramban:

    mengumpulkan dedaunan (untuk keperluan rumah tangga atau obat-obatan), [pra-ramban-an] masih menjadi tempat, lazimnya di hutan, di mana dedaunan itu diramu. Penjelasan seperti ini mengenai nama puning-puning reruntuhan itu, yang niscaya pada satu kesempatan ditemukan di hutan seperti itu, juga termuat dalam kamus yang disusun Roorda; [sebuah penjelasan] yang begitu sederhana dan alamiah sehingga kita tidak perlu mencari penjelasan yang lain.” (Groneman 1887:1427 dalam Jordaan, 1996)

    Sejarah

    Pembangunan

    Prambanan adalah candi Hindu terbesar dan termegah yang pernah dibangun di Jawa kuno, pembangunan candi Hindu kerajaan ini dimulai oleh Sri Maharaja Rakai Pikatan sebagai tandingan candi Buddha Borobudur dan juga candi Sewu yang terletak tak jauh dari Prambanan. Beberapa sejarawan lama menduga bahwa pembangunan candi agung Hindu ini untuk menandai kembali berkuasanya keluarga Sanjaya atas Jawa, hal ini terkait teori wangsa kembar berbeda keyakinan yang saling bersaing; yaitu wangsa Sanjaya penganut Hindu dan wangsa Sailendra penganut Buddha. Pastinya, dengan dibangunnya candi ini menandai bahwa Hinduisme aliran Saiwa kembali mendapat dukungan keluarga kerajaan, setelah sebelumnya wangsa Sailendra cenderung lebih mendukung Buddha aliran Mahayana. Hal ini menandai bahwa kerajaan Medang beralih fokus dukungan keagamaannya, dari Buddha Mahayana ke pemujaan terhadap Siwa.

    Bangunan ini pertama kali dibangun sekitar tahun 850 Masehi oleh Rakai Pikatan dan secara berkelanjutan disempurnakan dan diperluas oleh Raja Lokapala dan raja Sri Maharaja Dyah Balitung Maha Sambu. Berdasarkan prasasti Siwagrha berangka tahun 856 M, bangunan suci ini dibangun untuk memuliakan dewa Siwa, dan nama asli bangunan ini dalam bahasa Sanskerta adalah Siwagrha (Sansekerta:Shiva-graha yang berarti: ‘Rumah Siwa’) atau Siwalaya (Sansekerta:Shiva-laya yang berarti: ‘Ranah Siwa’ atau ‘Alam Siwa’).Dalam prasasti ini disebutkan bahwa saat pembangunan candi Siwagrha tengah berlangsung, dilakukan juga pekerjaan umum perubahan tata air untuk memindahkan aliran sungai di dekat candi ini. Sungai yang dimaksud adalah sungai Opak yang mengalir dari utara ke selatan sepanjang sisi barat kompleks candi Prambanan. Sejarawan menduga bahwa aslinya aliran sungai ini berbelok melengkung ke arah timur, dan dianggap terlalu dekat dengan candi sehingga erosi sungai dapat membahayakan konstruksi candi. Proyek tata air ini dilakukan dengan membuat sodetan sungai baru yang memotong lengkung sungai dengan poros utara-selatan sepanjang dinding barat di luar kompleks candi. Bekas aliran sungai asli kemudian ditimbun untuk memberikan lahan yang lebih luas bagi pembangunan deretan candi perwara (candi pengawal atau candi pendamping).

    Beberapa arkeolog berpendapat bahwa arca Siwa di garbhagriha (ruang utama) dalam candi Siwa sebagai candi utama merupakan arca perwujudan raja Balitung, sebagai arca pedharmaan anumerta dia.

    Kompleks bangunan ini secara berkala terus disempurnakan oleh raja-raja Medang Mataram berikutnya, seperti raja Sri Maharaja Dyah Daksa dan Sri Maharaja Dyah Tulodong, dan diperluas dengan membangun ratusan candi-candi tambahan di sekitar candi utama. Karena kemegahan candi ini, candi Prambanan berfungsi sebagai candi agung Kerajaan Mataram, tempat digelarnya berbagai upacara penting kerajaan. Pada masa puncak kejayaannya, sejarawan menduga bahwa ratusan pendeta brahmana dan murid-muridnya berkumpul dan menghuni pelataran luar candi ini untuk mempelajari kitab Weda dan melaksanakan berbagai ritual dan upacara Hindu. Sementara pusat kerajaan atau keraton kerajaan Mataram diduga terletak di suatu tempat di dekat Prambanan di Dataran Kewu.

    Ditelantarkan

    Sekitar tahun 930-an, ibu kota kerajaan berpindah ke Jawa Timur oleh Sri Maharaja Mpu Sindok, yang mendirikan Wangsa Dinasti Isyana. Penyebab kepindahan pusat kekuasaan ini tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi sangat mungkin disebabkan oleh letusan hebat Gunung Merapi yang menjulang sekitar 20 kilometer di utara candi Prambanan. Kemungkinan penyebab lainnya adalah peperangan dan perebutan kekuasaan. Setelah perpindahan ibu kota, candi Prambanan mulai terlantar dan tidak terawat, sehingga pelan-pelan candi ini mulai rusak dan runtuh.

    Bangunan candi ini diduga benar-benar runtuh akibat gempa bumi hebat pada abad ke-16. Meskipun tidak lagi menjadi pusat keagamaan dan ibadah umat Hindu, candi ini masih dikenali dan diketahui keberadaannya oleh warga Jawa yang menghuni desa sekitar. Candi-candi serta arca Durga dalam bangunan utama candi ini mengilhami dongeng rakyat Jawa yaitu legenda Rara Jonggrang. Setelah perpecahan Kesultanan Mataram pada tahun 1755, reruntuhan candi dan sungai Opak di dekatnya menjadi tanda pembatas antara wilayah Kesultanan Yogyakarta (Jogja) dan Kasunanan Surakarta (Solo).

    Penemuan kembali

    Masyarakat sekitar candi sudah mengetahui keberadaan candi ini. Akan tetapi mereka tidak tahu latar belakang sejarah sesungguhnya, siapakah raja dan kerajaan apa yang telah membangun monumen ini. Sebagai hasil imajinasi, rakyat setempat menciptakan dongeng lokal atau dongeng rakyat untuk menjelaskan asal-mula keberadaan candi-candi ini; diwarnai dengan kisah fantastis mengenai raja raksasa, ribuan candi yang dibangun oleh makhluk halus jin dan dedemit hanya dalam tempo satu malam, serta putri cantik yang dikutuk menjadi arca. Legenda mengenai candi Prambanan dikenal sebagai kisah Roro Jonggrang.

    Pada tahun 1733, candi ini ditemukan oleh CA. Lons seorang berkebangsaan Belanda. Candi ini menarik perhatian dunia ketika pada masa pendudukan Britania atas Jawa. Ketika itu Colin Mackenzie, seorang surveyor bawahan Sir Thomas Stamford Raffles, menemukan candi ini. Meskipun Sir Thomas kemudian memerintahkan penyelidikan lebih lanjut, reruntuhan candi ini tetap terlantar hingga berpuluh-puluh tahun. Penggalian tak serius dilakukan sepanjang 1880-an yang sayangnya malah menyuburkan praktik penjarahan ukiran dan batu candi. Kemudian pada tahun 1855 Jan Willem IJzerman mulai membersihkan dan memindahkan beberapa batu dan tanah dari bilik candi. Beberapa saat kemudian Isaäc Groneman melakukan pembongkaran besar-besaran dan batu-batu candi tersebut ditumpuk secara sembarangan di sepanjang Sungai Opak. Arca-arca dan relief candi diambil oleh warga Belanda dan dijadikan hiasan taman, sementara warga pribumi menggunakan batu candi untuk bahan bangunan dan pondasi rumah.

    Pemugaran

    Pemugaran dimulai pada tahun 1918, akan tetapi upaya serius yang sesungguhnya dimulai pada tahun 1930-an. Pada tahun 1902-1903, Theodoor van Erp memelihara bagian yang rawan runtuh. Pada tahun 1918-1926, dilanjutkan oleh Jawatan Purbakala (Oudheidkundige Dienst) di bawah P.J. Perquin dengan cara yang lebih sistematis sesuai kaidah arkeologi. Sebagaimana diketahui para pendahulunya melakukan pemindahan dan pembongkaran beribu-ribu batu secara sembarangan tanpa memikirkan adanya usaha pemugaran kembali. Pada tahun 1926 dilanjutkan De Haan hingga akhir hayatnya pada tahun 1930. Pada tahun 1931 digantikan oleh Ir. V.R. van Romondt hingga pada tahun 1942 dan kemudian diserahkan kepemimpinan renovasi itu kepada putra Indonesia dan itu berlanjut hingga tahun 1993.

    Upaya restorasi terus menerus dilakukan bahkan hingga kini. Pemugaran candi Siwa yaitu candi utama kompleks ini dirampungkan pada tahun 1953 dan diresmikan oleh Presiden pertama Republik Indonesia Sukarno. ada bagian candi yang direstorasi, menggunakan batu baru, karena batu-batu asli banyak yang dicuri atau dipakai ulang di tempat lain. Sebuah candi hanya akan direstorasi apabila minimal 75% batu asli masih ada. Oleh karena itu, banyak candi-candi kecil yang tak dibangun ulang dan hanya tampak pondasinya saja.

    Kini, candi ini termasuk dalam Situs Warisan Dunia yang dilindungi oleh UNESCO, status ini diberikan UNESCO pada tahun 1991. Kini, beberapa bagian candi Prambanan tengah direstorasi untuk memperbaiki kerusakan akibat gempa Yogyakarta 2006. Gempa ini telah merusak sejumlah bangunan dan patung.

     

    Peristiwa kontemporer

    Pada awal tahun 1990-an pemerintah memindahkan pasar dan kampung yang merebak secara liar di sekitar candi, menggusur kawasan perkampungan dan sawah di sekitar candi, dan memugarnya menjadi taman purbakala. Taman purbakala ini meliputi wilayah yang luas di tepi jalan raya Surakarta-Jogja di sisi selatannya, meliputi seluruh kompleks candi Prambanan, termasuk Candi Lumbung, Candi Bubrah, dan Candi Sewu di sebelah utaranya. Pada tahun 1992 Pemerintah Indonesia membentuk badan usaha milik negara, PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko. Badan usaha ini bertugas mengelola taman wisata purbakala di Borobudur, Prambanan, Ratu Boko, serta kawasan sekitarnya. Prambanan adalah salah satu daya tarik wisata terkenal di Indonesia yang banyak dikunjungi wisatawan dalam negeri ataupun wisatawan mancanegara.

    Tepat di seberang sungai Opak dibangun kompleks panggung dan gedung pertunjukan Trimurti yang secara rutin menggelar pertunjukan Sendratari Ramayana. Panggung terbuka Trimurti tepat terletak di seberang candi di tepi Barat sungai Opak dengan latar belakang Candi Prambanan yang disoroti cahaya lampu. Panggung terbuka ini hanya digunakan pada musim kemarau, sedangkan pada musim penghujan, pertunjukan dipindahkan di panggung tertutup. Tari Jawa Wayang orang Ramayana ini adalah tradisi adiluhung keraton Jawa yang telah berusia ratusan tahun, biasanya dipertunjukkan di keraton dan mulai dipertunjukkan di Prambanan pada saat bulan purnama sejak tahun 1960-an. Sejak saat itu Prambanan telah menjadi daya tarik wisata budaya dan purbakala utama di Indonesia.

    Setelah pemugaran besar-besaran tahun 1990-an, Prambanan juga kembali menjadi pusat ibadah agama Hindu di Jawa. Kebangkitan kembali nilai keagamaan Prambanan adalah karena terdapat cukup banyak masyarakat penganut Hindu, baik pendatang dari Bali atau warga Jawa yang kembali menganut Hindu yang bermukim di Yogyakarta, Klaten dan sekitarnya. Tiap tahun warga Hindu dari provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta berkumpul di candi Prambanan untuk menggelar upacara pada hari suci Galungan, Tawur Kesanga, dan Nyepi

    Pada 27 Mei 2006 gempa bumi dengan kekuatan 5,9 pada skala Richter (sementara United States Geological Survey melaporkan kekuatan gempa 6,2 pada skala Richter) menghantam daerah Bantul dan sekitarnya. Gempa ini menyebabkan kerusakan hebat terhadap banyak bangunan dan kematian pada penduduk sekitar. Gempa ini berpusat pada patahan tektonik Opak yang patahannya sesuai arah lembah sungai Opak dekat Prambanan. Salah satu bangunan yang rusak parah adalah kompleks Candi Prambanan, khususnya Candi Brahma. Foto awal menunjukkan bahwa meskipun kompleks bangunan tetap utuh, kerusakan cukup signifikan. Pecahan batu besar, termasuk panil-panil ukiran, dan kemuncak wajra berjatuhan dan berserakan di atas tanah. Candi-candi ini sempat ditutup dari kunjungan wisatawan hingga kerusakan dan bahaya keruntuhan dapat diperhitungkan. Balai arkeologi Yogyakarta menyatakan bahwa diperlukan waktu berbulan-bulan untuk mengetahui sejauh mana kerusakan yang diakibatkan gempa ini.Beberapa minggu kemudian, pada tahun 2006 situs ini kembali dibuka untuk kunjungan wisata. Pada tahun 2008, tercatat sejumlah 856.029 wisatawan Indonesia dan 114.951 wisatawan mancanegara mengunjungi Prambanan. Pada 6 Januari 2009 pemugaran candi Nandi selesai.Pada tahun 2009, ruang dalam candi utama tertutup dari kunjungan wisatawan atas alasan keamanan.

    Kompleks candi

    Pintu masuk ke kompleks bangunan ini terdapat di keempat arah penjuru mata angin, akan tetapi arah hadap bangunan ini adalah ke arah timur, maka pintu masuk utama candi ini adalah gerbang timur. Kompleks candi Prambanan terdiri dari:

    1. 3 Candi Trimurti: candi Siwa, Wisnu, dan Brahma
    2. 3 Candi Wahana: candi Nandi, Garuda, dan Angsa
    3. 2 Candi Apit: terletak antara barisan candi-candi Trimurti dan candi-candi Wahana di sisi utara dan selatan
    4. 4 Candi Kelir: terletak di 4 penjuru mata angin tepat di balik pintu masuk halaman dalam atau zona inti
    5. 4 Candi Patok: terletak di 4 sudut halaman dalam atau zona inti
    6. 224 Candi Perwara: tersusun dalam 4 barisan konsentris dengan jumlah candi dari barisan terdalam hingga terluar: 44, 52, 60, dan 68

    Maka terdapat total 240 candi di kompleks Prambanan

    Aslinya terdapat 240 candi besar dan kecil di kompleks Candi Prambanan.Tetapi kini hanya tersisa 18 candi; yaitu 8 candi utama dan 8 candi kecil di zona inti serta 2 candi perwara. Banyak candi perwara yang belum dipugar, dari 224 candi perwara hanya 2 yang sudah dipugar, yang tersisa hanya tumpukan batu yang berserakan. Kompleks candi Prambanan terdiri atas tiga zona; pertama adalah zona luar, kedua adalah zona tengah yang terdiri atas ratusan candi, ketiga adalah zona dalam yang merupakan zona tersuci tempat delapan candi utama dan delapan kuil kecil.

    Penampang denah kompleks candi Prambanan adalah berdasarkan lahan bujur sangkar yan terdiri atas tiga bagian atau zona, masing-masing halaman zona ini dibatasi tembok batu andesit. Zona terluar ditandai dengan pagar bujur sangkar yang masing-masing sisinya sepanjang 390 meter, dengan orientasi Timur Laut – Barat Daya. Kecuali gerbang selatan yang masih tersisa, bagian gerbang lain dan dinding candi ini sudah banyak yang hilang. Fungsi dari halaman luar ini secara pasti belum diketahui; kemungkinan adalah lahan taman suci, atau kompleks asrama Brahmana dan murid-muridnya. Mungkin dulu bangunan yang berdiri di halaman terluar ini terbuat dari bahan kayu, sehingga sudah lapuk dan musnah tak tersisa.

    Candi Prambanan adalah salah satu candi Hindu terbesar di Asia Tenggara selain Angkor Wat. Tiga candi utama disebut Trimurti dan dipersembahkan kepada tiga dewa utama Trimurti: Siwa sang Penghancur, Wisnu sang Pemelihara dan Brahma sang Pencipta. Di kompleks candi ini Siwa lebih diutamakan dan lebih dimuliakan dari dua dewa Trimurti lainnya. Candi Siwa sebagai bangunan utama sekaligus yang terbesar dan tertinggi, menjulang setinggi 47 meter.

    Candi Siwa

    Halaman dalam adalah zona paling suci dari ketiga zona kompleks candi. Pelataran ini ditinggikan permukaannya dan berdenah bujur sangkar dikurung pagar batu dengan empat gerbang di empat penjuru mata angin. Dalam halaman berpermukaan pasir ini terdapat delapan candi utama; yaitu tiga candi utama yang disebut candi Trimurti (“tiga wujud”), dipersembahkan untuk tiga dewa Hindu tertinggi: Dewa Brahma Sang Pencipta, Wisnu Sang Pemelihara, dan Siwa Sang Pemusnah.

    Candi Siwa sebagai candi utama adalah bangunan terbesar sekaligus tertinggi di kompleks candi Rara Jonggrang, berukuran tinggi 47 meter dan lebar 34 meter. Puncak mastaka atau kemuncak candi ini dimahkotai modifikasi bentuk wajra yang melambangkan intan atau halilintar. Bentuk wajra ini merupakan versi Hindu sandingan dari stupa yang ditemukan pada kemuncak candi Buddha. Candi Siwa dikelilingi lorong galeri yang dihiasi relief yang menceritakan kisah Ramayana; terukir di dinding dalam pada pagar langkan. Di atas pagar langkan ini dipagari jajaran kemuncak yang juga berbentuk wajra. Untuk mengikuti kisah sesuai urutannya, pengunjung harus masuk dari sisi timur, lalu melakukan pradakshina yakni berputar mengelilingi candi sesuai arah jarum jam. Kisah Ramayana ini dilanjutkan ke Candi Brahma.

    Candi Siwa di tengah-tengah, memuat lima ruangan, satu ruangan di setiap arah mata angin dan satu garbagriha, yaitu ruangan utama dan terbesar yang terletak di tengah candi. Ruangan timur terhubung dengan ruangan utama tempat bersemayam sebuah arca Siwa Mahadewa (Perwujudan Siwa sebagai Dewa Tertinggi) setinggi tiga meter. Arca ini memiliki Lakçana (atribut atau simbol) Siwa, yaitu candrakapala (tengkorak di atas bulan sabit), jatamakuta (mahkota keagungan), dan trinetra (mata ketiga) di dahinya. Arca ini memiliki empat lengan yang memegang atribut Siwa, seperti aksamala (tasbih), camara (rambut ekor kuda pengusir lalat), dan trisula. Arca ini mengenakan upawita (tali kasta) berbentuk ular naga (kobra). Siwa digambarkan mengenakan cawat dari kulit harimau, digambarkan dengan ukiran kepala, cakar, dan ekor harimau di pahanya. Sebagian sejarawan beranggapan bahwa arca Siwa ini merupakan perwujudan raja Balitung sebagai dewa Siwa, sebagai arca pedharmaan anumerta dia. Sehingga ketika raja ini wafat, arwahnya dianggap bersatu kembali dengan dewa penitisnya yaitu Siwa.Arca Siwa Mahadewa ini berdiri di atas lapik bunga padma di atas landasan persegi berbentuk yoni yang pada sisi utaranya terukir ular Nāga (kobra).

    Tiga ruang yang lebih kecil lainnya menyimpan arca-arca yang ukuran lebih kecil yang berkaitan dengan Siwa. Di dalam ruang selatan terdapat Resi Agastya, Ganesha putra Siwa di ruang barat, dan di ruang utara terdapat arca sakti atau istri Siwa, Durga Mahisasuramardini, menggambarkan Durga sebagai pembasmi Mahisasura, raksasa Lembu yang menyerang swargaloka. Arca Durga ini juga disebut sebagai Rara Jonggrang (dara langsing) oleh penduduk setempat. Arca ini dikaitkan dengan tokoh putri legenda Rara Jonggrang.

    Di dalam buku terkenal Thomas Raffles, The History of Java (1817) terdapat gambar Candi Induk Prambanan dengan keterangan “candi induk di Jonggrangan”. Dalam nama jonggrangan ini dikenal nama lokal lainnya yang populer untuk kompleks percandian ini, yaitu Loro Jonggrang, yang berarti “Gadis Semampai”. Roro Jonggrang adalah tokoh utama dalam sebuah cerita rakyat Jawa

    Candi Brahma dan Candi Wisnu

    Dua candi lainnya dipersembahkan kepada Dewa Wisnu, yang terletak di sisi utara dan satunya dipersembahkan kepada Brahma, yang terletak di sisi selatan. Kedua candi ini menghadap ke timur dan hanya terdapat satu ruang, yang dipersembahkan untuk dewa-dewa ini. Candi Brahma menyimpan arca Brahma dan Candi Wisnu menyimpan arca Wisnu yang berukuran tinggi hampir 3 meter. Ukuran candi Brahma dan Wisnu adalah sama, yakni lebar 20 meter dan tinggi 33 meter.

    Candi Wahana

    Tepat di depan candi Trimurti terdapat tiga candi yang lebih kecil daripada candi Brahma dan Wishnu yang dipersembahkan kepada kendaraan atau wahana dewa-dewa ini; sang lembu Nandi wahana Siwa, sang Angsa wahana Brahma, dan sang Garuda wahana Wisnu. Candi-candi wahana ini terletak tepat di depan dewa penunggangnya. Di depan candi Siwa terdapat candi Nandi, di dalamnya terdapat arca lembu Nandi. Pada dinding di belakang arca Nandi ini di kiri dan kanannya mengapit arca Chandra dewa bulan dan Surya dewa matahari. Chandra digambarkan berdiri di atas kereta yang ditarik 10 kuda, sedangkan Surya berdiri di atas kereta yang ditarik 7 kuda.Tepat di depan candi Brahma terdapat candi Angsa. Candi ini kosong dan tidak ada arca Angsa di dalamnya. Mungkin dulu pernah bersemayam arca Angsa sebagai kendaraan Brahma di dalamnya. Di depan candi Wishnu terdapat candi yang dipersembahkan untuk Garuda, akan tetapi sama seperti candi Angsa, di dalam candi ini tidak ditemukan arca Garuda. Mungkin dulu arca Garuda pernah ada di dalam candi ini. Hingga kini Garuda menjadi lambang penting di Indonesia, yaitu sebagai lambang negara Garuda Pancasila

    Candi Apit, Candi Kelir, dan Candi Patok

    Di antara baris keenam candi-candi utama ini terdapat Candi Apit. Ukuran Candi Apit hampir sama dengan ukuran candi perwara, yaitu tinggi 14 meter dengan tapak denah 6 x 6 meter. Disamping 8 candi utama ini terdapat candi kecil berupa kuil kecil yang mungkin fungsinya menyerupai pelinggih dalam Pura Hindu Bali tempat meletakan canang atau sesaji, sekaligus sebagai aling-aling di depan pintu masuk. Candi-candi kecil ini yaitu; 4 Candi Kelir pada empat penjuru mata angin di muka pintu masuk, dan 4 Candi Patok di setiap sudutnya. Candi Kelir dan Candi Patok berbentuk miniatur candi tanpa tangga dengan tinggi sekitar 2 meter.

     

    Candi Perwara

    Dua dinding berdenah bujur sangkar yang mengurung dua halaman dalam, tersusun dengan orientasi sesuai empat penjuru mata angin. Dinding kedua berukuran panjang 225 meter di tiap sisinya. Di antara dua dinding ini adalah halaman kedua atau zona kedua. Zona kedua terdiri atas 224 Candi Perwara yang disusun dalam empat baris konsentris. Candi-candi ini dibangun di atas empat undakan teras-teras yang makin ke tengah sedikit makin tinggi. Empat baris candi-candi ini berukuran lebih kecil daripada candi utama. Candi-candi ini disebut “Candi Perwara” yaitu Candi Pengawal atau Candi Pelengkap. Candi-Candi Perwara disusun dalam empat baris konsentris baris terdalam terdiri atas 44 candi, baris kedua 52 candi, baris ketiga 60 candi, dan baris keempat sekaligus baris terluar terdiri atas 68 candi.

    Masing-masing Candi Perwara ini berukuran tinggi 14 meter dengan tapak denah 6 x 6 meter, dan jumlah keseluruhan Candi Perwara di halaman ini adalah 224 candi. Semua Candi Perwara ini memiliki satu tangga dan pintu masuk sesuai arah hadap utamanya, kecuali 16 candi di sudut yang memiliki dua tangga dan pintu masuk menghadap ke dua arah luar. Jika kebanyakan atap candi di halaman dalam zona inti berbentuk wajra, maka atap candi perwara berbentuk ratna yang melambangkan permata.

    Aslinya ada banyak candi yang ada di halaman ini, akan tetapi hanya sedikit yang telah dipugar. Bentuk candi perwara ini dirancang seragam. Sejarawan menduga bahwa candi-candi ini dibiayai dan dibangun oleh penguasa daerah sebagai tanda bakti dan persembahan bagi raja. Sementara ada pendapat yang mengaitkan empat baris Candi Perwara melambangkan empat kasta, dan hanya orang-orang anggota kasta itu yang boleh memasuki dan beribadah di dalamnya; baris paling dalam hanya oleh dimasuki kasta brahmana, berikutnya hingga baris terluar adalah barisan candi untuk ksatria, waisya, dan sudra. Sementara pihak lain menganggap tidak ada kaitannya antara Candi Perwara dan empat kasta. Barisan candi perwara kemungkinan dipakai untuk beribadah, atau tempat bertapa (meditasi) bagi pendeta dan umatnya

  • WISATA YANG AKAN KAYA DENGAN SEJARAH “ BOROBUDUR”

    Candi Borobudur (bahasa Jawa: ꦕꦟ꧀ꦝꦶꦧꦫꦧꦸꦝꦸꦂ, translit. Candhi Båråbudhur) adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Candi ini terletak kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi dengan banyak stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi atau kuil Buddha terbesar di dunia,sekaligus salah satu monumen Budha terbesar di dunia

    Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang di atasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha.Borobudur memiliki koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia. Stupa utama terbesar terletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang di dalamnya terdapat arca Buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).

    Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha. Para peziarah masuk melalui sisi timur dan memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya para peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan pagar langkan

    Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-10 seiring pindahnya pusat Kerajaan Mataram Kuno ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok. Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran (perbaikan kembali). Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun waktu 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia.

    Nama Borobudur

    Dalam bahasa Indonesia, bangunan keagamaan purbakala disebut candi; istilah candi juga digunakan secara lebih luas untuk merujuk kepada semua bangunan purbakala yang berasal dari masa Hindu-Buddha di Nusantara, misalnya gerbang, gapura, dan petirtaan (kolam dan pancuran pemandian). Asal mula nama Borobudur tidak jelas, meskipun memang nama asli dari kebanyakan candi di Indonesia tidak diketahui. Nama Borobudur pertama kali ditulis dalam buku “Sejarah Pulau Jawa” karya Sir Thomas Stamford Raffles.Raffles menulis mengenai monumen bernama borobudur, akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua yang menyebutkan nama yang sama persis. Satu-satunya naskah Jawa kuno yang memberi petunjuk mengenai adanya bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk kepada Borobudur adalah Negarakertagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365

    Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis Raffles dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Boro (Boro); kebanyakan candi memang sering kali dinamai berdasarkan desa tempat candi itu berdiri. Raffles juga menduga bahwa istilah ‘Budur’ mungkin berkaitan dengan istilah Buda dalam bahasa Jawa yang berarti “purba”– maka bermakna, “Boro purba”.Akan tetapi arkeolog lain beranggapan bahwa nama Budur berasal dari istilah bhudhara yang berarti gunung.

    Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya “gunung” (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan “para Buddha” yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata “bara” dan “beduhur”. Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur artinya adalah “tinggi”, atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti “di atas”. Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.

    Poerbatjaraka berpendapat bahwa arti kata boro adalah “biara”, tetapi dibantah oleh Krom yang menyebutkan bahwa Borobudur bukanlah biara, melainkan stupa. Menurut Krom, berdasarkan perbandingan dengan stupa yang ada di India, biasanya stupa tidak berdiri sendiri tetapi ada biara di dekatnya. Biara itu berfungsi sebagai tempat tinggal para biksu yang bertanggung jawab atas pemeliharaan tempat suci tersebut dan juga untuk menampung peziarah dari tempat lain. Jika dilihat dari besarnya Candi Borobudur, biara tersebut berukuran cukup besar tetapi sudah tidak ada lagi jejaknya karena dibangun dari kayu, lokasinya pun juga masih belum diketahui.

    Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram ke 2 Rakai Panangkaran 770 M dan dilanjutkan wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan dapat diselesaikan pada masa Rakai Pikatan Dan Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlān yang disebut Bhūmisambhāra.Istilah Kamūlān sendiri berasal dari kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta yang berarti “Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa”, adalah nama asli Borobudur.

     

    Lingkungan sekitar

    Terletak sekitar 40 kilometer (25 mi) barat laut dari Kota Yogyakarta, Borobudur terletak di atas bukit pada dataran yang dikelilingi dua pasang gunung kembar; Gunung Sindoro-Sumbing di sebelah barat laut dan Merbabu-Merapi di sebelah timur laut, di sebelah utaranya terdapat Bukit Tidar, lebih dekat di sebelah selatan terdapat jajaran perbukitan Menoreh, serta candi ini terletak dekat pertemuan dua sungai yaitu Sungai Progo dan Sungai Elo di sebelah timur. Menurut legenda Jawa, daerah yang dikenal sebagai Dataran Kedu adalah tempat yang dianggap suci dalam kepercayaan Jawa dan disanjung sebagai ‘Taman pulau Jawa’ karena keindahan alam dan kesuburan tanahnya

    Tiga candi serangkai

    Selain Borobudur, terdapat beberapa candi Budha dan Hindu di kawasan ini. Pada masa penemuan dan pemugaran di awal abad ke-20 ditemukan candi Buddha lainnya yaitu Candi Mendut dan Candi Pawon yang terbujur membentang dalam satu garis lurus.Awalnya diduga hanya suatu kebetulan, akan tetapi berdasarkan dongeng penduduk setempat, dulu terdapat jalan berlapis batu yang dipagari pagar langkan di kedua sisinya yang menghubungkan ketiga candi ini. Tidak ditemukan bukti fisik adanya jalan raya beralas batu dan berpagar dan mungkin ini hanya dongeng belaka, akan tetapi para pakar menduga memang ada kesatuan perlambang dari ketiga candi ini. Ketiga candi ini (Borobudur-Pawon-Mendut) memiliki kemiripan langgam arsitektur dan ragam hiasnya dan memang berasal dari periode yang sama yang memperkuat dugaan adanya keterkaitan ritual antar ketiga candi ini. Keterkaitan suci pasti ada, akan tetapi bagaimanakah proses ritual keagamaan ziarah dilakukan, belum diketahui secara pasti

    Selain Candi Mendut dan Pawon, di sekitar Borobudur juga ditemukan beberapa peninggalan purbakala lainnya, di antaranya berbagai temuan tembikar seperti periuk dan kendi yang menunjukkan bahwa di sekitar Borobudur dulu terdapat beberapa wilayah hunian. Temuan-temuan purbakala di sekitar Borobudur kini disimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur, yang terletak di sebelah utara candi bersebelahan dengan Museum Samudra Raksa. Tidak seberapa jauh di sebelah utara Candi Pawon ditemukan reruntuhan bekas candi Hindu yang disebut Candi Banon. Pada candi ini ditemukan beberapa arca dewa-dewa utama Hindu dalam keadaan cukup baik yaitu Shiwa, Wishnu, Brahma, serta Ganesha. Akan tetapi batu asli Candi Banon amat sedikit ditemukan sehingga tidak mungkin dilakukan rekonstruksi. Pada saat penemuannya arca-arca Banon diangkut ke Batavia (kini Jakarta) dan kini disimpan di Museum Nasional Indonesia

    Danau purba

    Tidak seperti candi lainnya yang dibangun di atas tanah datar, Borobudur dibangun di atas bukit dengan ketinggian 265 m (869 ft) dari permukaan laut dan 15 m (49 ft) di atas dasar danau purba yang telah mengering.Keberadaan danau purba ini menjadi bahan perdebatan yang hangat di kalangan arkeolog pada abad ke-20; dan menimbulkan dugaan bahwa Borobudur dibangun di tepi atau bahkan di tengah danau. Pada tahun 1931, seorang seniman dan pakar arsitektur Hindu Buddha, W.O.J. Nieuwenkamp, mengajukan teori bahwa Dataran Kedu dulunya adalah sebuah danau, dan Borobudur dibangun melambangkan bunga teratai yang mengapung di atas permukaan danau. Bunga teratai baik dalam bentuk padma (teratai merah), utpala (teratai biru), ataupun kumuda (teratai putih) dapat ditemukan dalam semua ikonografi seni keagamaan Buddha. sering kali digenggam oleh Boddhisatwa sebagai laksana (lambang regalia), menjadi alas duduk singgasana Buddha atau sebagai lapik stupa. Bentuk arsitektur Borobudur sendiri menyerupai bunga teratai, dan postur Budha di Borobudur melambangkan Sutra Teratai yang kebanyakan ditemui dalam naskah keagamaan Buddha mazhab Mahayana (aliran Buddha yang kemudian menyebar ke Asia Timur). Tiga pelataran melingkar di puncak Borobudur juga diduga melambangkan kelopak bunga teratai. Akan tetapi teori Nieuwenkamp yang terdengar luar biasa dan fantastis ini banyak menuai bantahan dari para arkeolog. pada daratan di sekitar monumen ini telah ditemukan bukti-bukti arkeologi yang membuktikan bahwa kawasan sekitar Borobudur pada masa pembangunan candi ini adalah daratan kering, bukan dasar danau purba.

    Sementara itu pakar geologi justru mendukung pandangan Nieuwenkamp dengan menunjukkan bukti adanya endapan sedimen lumpur di dekat situs ini.Sebuah penelitian stratigrafi, sedimen dan analisis sampel serbuk sari yang dilakukan tahun 2000 mendukung keberadaan danau purba di lingkungan sekitar Borobudur,yang memperkuat gagasan Nieuwenkamp. Ketinggian permukaan danau purba ini naik-turun berubah-ubah dari waktu ke waktu, dan bukti menunjukkan bahwa dasar bukit dekat Borobudur pernah kembali terendam air dan menjadi tepian danau sekitar abad ke-13 dan ke-14. Aliran sungai dan aktivitas vulkanik diduga memiliki andil dalam mengubah bentang alam dan topografi lingkungan sekitar Borobudur termasuk danau nya. Salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia adalah Gunung Merapi yang terletak cukup dekat dengan Borobudur dan telah aktif sejak masa Pleistosen

     

    Sejarah

     

    Pembangunan

    Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan apa kegunaannya. Waktu pembangunannya diperkirakan berdasarkan perbandingan antara jenis aksara yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim digunakan pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800 masehi. Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah,yang kala itu menguasai tahta Kerajaan Medang. Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 – 100 tahun lebih dan benar-benar dirampungkan pada masa pemerintahan raja Samaratungga pada tahun 825.

    Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di Jawa kala itu beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui sebagai penganut agama Buddha aliran Mahayana yang taat, akan tetapi melalui temuan prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa mereka mungkin awalnya beragama Hindu Siwa.Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai candi Hindu dan Budha di Dataran Kedu. Berdasarkan Prasasti Canggal, pada tahun 732 M, raja beragama Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan suci Shiwalingga yang dibangun di perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km (6,2 mi) sebelah timur dari Borobudur.Candi Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu yang hampir bersamaan dengan candi-candi di Dataran Prambanan, meskipun demikian Borobudur diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M, dua puluh lima tahun lebih awal sebelum dimulainya pembangunan candi Siwa Prambanan sekitar tahun 850 M.

    Pembangunan candi-candi Buddha — termasuk Borobudur — saat itu dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun candi.Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa Kalasan kepada sangha (komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi Kalasan yang dibangun untuk memuliakan Bodhisatwadewi Tara, sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi. Petunjuk ini dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah menjadi masalah yang dapat menuai konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa saja menyokong dan mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya.Akan tetapi diduga terdapat persaingan antara dua wangsa kerajaan pada masa itu — wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa Sanjaya yang memuja Siwa — yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi pertempuran pada tahun 856 di perbukitan Ratu Boko. Ketidakjelasan juga timbul mengenai candi Lara Jonggrang di Prambanan, candi megah yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan sebagai jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik wangsa Syailendra, akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi dan kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan

    Borobudur diterlantarkan

    Borobudur tersembunyi dan terlantar selama berabad-abad terkubur di bawah lapisan tanah dan debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon dan semak belukar sehingga Borobudur kala itu benar-benar menyerupai bukit. Alasan sesungguhnya penyebab Borobudur ditinggalkan hingga kini masih belum diketahui. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan bangunan suci ini tidak lagi menjadi pusat ziarah umat Buddha. Pada kurun 928 dan 1006, Raja Mpu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan Medang ke kawasan Jawa Timur setelah serangkaian letusan gunung berapi; tidak dapat dipastikan apakah faktor inilah yang menyebabkan Borobudur ditinggalkan, akan tetapi beberapa sumber menduga bahwa sangat mungkin Borobudur mulai ditinggalkan pada periode ini.Bangunan suci ini disebutkan secara samar-samar sekitar tahun 1365, oleh Mpu Prapanca dalam naskahnya Nagarakretagama yang ditulis pada masa kerajaan Majapahit. Ia menyebutkan adanya “Wihara di Budur”. Selain itu Soekmono (1976) juga mengajukan pendapat populer bahwa candi ini mulai benar-benar ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih keyakinan kepada Islam pada abad ke-15.

    Monumen ini tidak sepenuhnya dilakukan, melalui dongeng rakyat Borobudur beralih dari sebagai bukti kejayaan masa lampau menjadi kisah yang lebih bersifat tahayul yang dikaitkan dengan kesialan, kemalangan dan penderitaan. Dua Babad Jawa yang ditulis abad ke-18 menyebutkan nasib buruk yang dikaitkan dengan monumen ini. Menurut Babad Tanah Jawi (Sejarah Jawa), monumen ini merupakan faktor fatal bagi Mas Dana, pembangkang yang memberontak kepada Pakubuwono I, raja Kesultanan Mataram pada 1709. Disebutkan bahwa bukit “Redi Borobudur” dikepung dan para pemberontak dikalahkan dan dihukum mati oleh raja. Dalam Babad Mataram (Sejarah Kerajaan Mataram), monumen ini dikaitkan dengan kesialan putra mahkota Kesultanan Yogyakarta yang mengunjungi monumen ini pada 1757. Meskipun terdapat tabu yang melarang orang untuk mengunjungi monumen ini, “Sang Pangeran datang mengunjungi satria yang terpenjara di dalam kurungan (arca buddha yang terdapat di dalam stupa berterawang)”. Setelah kembali ke keraton, sang Pangeran jatuh sakit dan meninggal dunia sehari kemudian. Dalam kepercayaan Jawa pada masa Mataram Islam, reruntuhan bangunan percandian dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh halus dan dianggap wingit (angker) sehingga dikaitkan dengan kesialan atau kemalangan yang mungkin menimpa siapa saja yang mengunjungi dan mengganggu situs ini. Meskipun secara ilmiah diduga, mungkin setelah situs ini tidak terurus dan ditutupi semak belukar, tempat ini pernah menjadi sarang wabah penyakit seperti demam berdarah atau malaria.

    Penemuan kembali

    Setelah Perang Inggris-Belanda dalam memperebutkan pulau Jawa, Jawa di bawah pemerintahan Britania (Inggris) pada kurun 1811 hingga 1816. Thomas Stamford Raffles ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal, dan ia memiliki minat istimewa terhadap sejarah Jawa. Ia mengumpulkan artefak-artefak antik kesenian Jawa kuno dan membuat catatan mengenai sejarah dan kebudayaan Jawa yang dikumpulkannya dari perjumpaannya dengan rakyat setempat dalam perjalanannya keliling Jawa. Pada kunjungan inspeksinya di Semarang tahun 1814, ia dikabari mengenai adanya sebuah monumen besar jauh di dalam hutan dekat desa Bumisegoro.Karena berhalangan dan tugasnya sebagai Gubernur Jenderal, ia tidak dapat pergi sendiri untuk mencari bangunan itu dan mengutus H.C. Cornelius, seorang insinyur Belanda, untuk menyelidiki keberadaan bangunan besar ini. Dalam dua bulan, Cornelius beserta 200 bawahannya menebang pepohonan dan semak belukar yang tumbuh di bukit Borobudur dan membersihkan lapisan tanah yang mengubur candi ini. Karena ancaman longsor, ia tidak dapat menggali dan membersihkan semua lorong. Ia melaporkan penemuannya kepada Raffles termasuk menyerahkan berbagai gambar sketsa candi Borobudur. Meskipun penemuan ini hanya menyebutkan beberapa kalimat, Raffles dianggap berjasa atas penemuan kembali monumen ini, serta menarik perhatian dunia atas keberadaan monumen yang pernah hilang ini.

    Hartmann, seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda di Keresidenan Kedu meneruskan kerja Cornelius dan pada 1835 akhirnya seluruh bagian bangunan telah tergali dan terlihat. Minatnya terhadap Borobudur lebih bersifat pribadi daripada tugas kerjanya. Hartmann tidak menulis laporan atas kegiatannya; secara khusus, beredar kabar bahwa ia telah menemukan arca buddha besar di stupa utama.Pada 1842, Hartmann menyelidiki stupa utama meskipun apa yang ia temukan tetap menjadi misteri karena bagian dalam stupa kosong.

    Pemerintah Hindia Belanda menugaskan F.C. Wilsen, seorang insinyur pejabat Belanda bidang teknik, ia mempelajari monumen ini dan menggambar ratusan sketsa relief. J.F.G. Brumund juga ditunjuk untuk melakukan penelitian lebih terperinci atas monumen ini, yang dirampungkannya pada 1859. Pemerintah berencana menerbitkan artikel berdasarkan penelitian Brumund yang dilengkapi sketsa-sketsa karya Wilson, tetapi Brumund menolak untuk bekerja sama. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menugaskan ilmuwan lain, C. Leemans, yang mengkompilasi monografi berdasarkan sumber dari Brumund dan Wilsen. Pada 1873, monograf pertama dan penelitian lebih detil atas Borobudur diterbitkan, dilanjutkan edisi terjemahannya dalam bahasa Prancis setahun kemudian.Foto pertama monumen ini diambil pada 1873 oleh ahli engrafi Belanda, Isidore van Kinsbergen.

    Penghargaan atas situs ini tumbuh perlahan. Untuk waktu yang cukup lama Borobudur telah menjadi sumber cenderamata dan pendapatan bagi pencuri, penjarah candi, dan kolektor “pemburu artefak”. Kepala arca Buddha adalah bagian yang paling banyak dicuri. Karena mencuri seluruh arca buddha terlalu berat dan besar, arca sengaja dijungkirkan dan dijatuhkan oleh pencuri agar kepalanya terpenggal. Karena itulah kini di Borobudur banyak ditemukan arca Budha tanpa kepala. Kepala Buddha Borobudur telah lama menjadi incaran kolektor benda antik dan museum-museum di seluruh dunia. Pada 1882, kepala inspektur artefak budaya menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan reliefnya dipindahkan ke museum akibat kondisi yang tidak stabil, ketidakpastian dan pencurian yang marak di monumen. Akibatnya, pemerintah menunjuk Groeneveldt, seorang arkeolog, untuk menggelar penyelidikan menyeluruh atas situs dan memperhitungkan kondisi aktual kompleks ini; laporannya menyatakan bahwa kekhawatiran ini berlebihan dan menyarankan agar bangunan ini dibiarkan utuh dan tidak dibongkar untuk dipindahkan.

    Bagian candi Borobudur dicuri sebagai benda cinderamata, arca dan ukirannya diburu kolektor benda antik. Tindakan penjarahan situs bersejarah ini bahkan salah satunya direstui Pemerintah Kolonial. Pada tahun 1896, Raja Thailand, Chulalongkorn ketika mengunjungi Jawa di Hindia Belanda (kini Indonesia) menyatakan minatnya untuk memiliki beberapa bagian dari Borobudur. Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan dan menghadiahkan delapan gerobak penuh arca dan bagian bangunan Borobudur. Artefak yang diboyong ke Thailand antara lain; lima arca Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang, dan arca penjaga dwarapala yang pernah berdiri di Bukit Dagi — beberapa ratus meter di barat laut Borobudur. Beberapa artefak ini, yaitu arca singa dan dwarapala, kini dipamerkan di Museum Nasional Bangkok

    Pemugaran

    Borobudur kembali menarik perhatian pada 1885, ketika Yzerman, Ketua Masyarakat Arkeologi di Yogyakarta, menemukan kaki tersembunyi.Foto-foto yang menampilkan relief pada kaki tersembunyi dibuat pada kurun 1890–1891.Penemuan ini mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil langkah menjaga kelestarian monumen ini. Pada 1900, pemerintah membentuk komisi yang terdiri atas tiga pejabat untuk meneliti monumen ini: Brandes, seorang sejarawan seni, Theodoor van Erp, seorang insinyur yang juga anggota tentara Belanda, dan Van de Kamer, insinyur ahli konstruksi bangunan dari Departemen Pekerjaan Umum

    Pada 1902, komisi ini mengajukan proposal tiga langkah rencana pelestarian Borobudur kepada pemerintah. Pertama, bahaya yang mendesak harus segera diatasi dengan mengatur kembali sudut-sudut bangunan, memindahkan batu yang membahayakan batu lain di sebelahnya, memperkuat pagar langkan pertama, dan memugar beberapa relung, gerbang, stupa dan stupa utama. Kedua, memagari halaman candi, memelihara dan memperbaiki sistem drainase dengan memperbaiki lantai dan pancuran. Ketiga, semua batuan lepas dan longgar harus dipindahkan, monumen ini dibersihkan hingga pagar langkan pertama, batu yang rusak dipindahkan dan stupa utama dipugar. Total biaya yang diperlukan pada saat itu ditaksir sekitar 48.800

    Pemugaran dilakukan pada kurun 1907 dan 1911, menggunakan prinsip anastilosis dan dipimpin Theodore van Erp.Tujuh bulan pertama dihabiskan untuk menggali tanah di sekitar monumen untuk menemukan kepala buddha yang hilang dan panel batu. Van Erp membongkar dan membangun kembali tiga teras melingkar dan stupa di bagian puncak. Dalam prosesnya Van Erp menemukan banyak hal yang dapat diperbaiki; ia mengajukan proposal lain yang disetujui dengan anggaran tambahan sebesar 34.600 gulden. Van Erp melakukan rekonstruksi lebih lanjut, ia bahkan dengan teliti merekonstruksi chattra (payung batu susun tiga) yang memahkotai puncak Borobudur. Pada pandangan pertama, Borobudur telah pulih seperti pada masa kejayaannya. Akan tetapi rekonstruksi chattra hanya menggunakan sedikit batu asli dan hanya rekaan kira-kira. Karena dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan keasliannya, Van Erp membongkar sendiri bagian chattra. Kini mastaka atau kemuncak Borobudur chattra susun tiga tersimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur.

    Akibat anggaran yang terbatas, pemugaran ini hanya memusatkan perhatian pada membersihkan patung dan batu, Van Erp tidak memecahkan masalah drainase dan tata air. Dalam 15 tahun, dinding galeri miring dan relief menunjukkan keretakan dan kerusakan. Van Erp menggunakan beton yang menyebabkan terbentuknya kristal garam alkali dan kalsium hidroksida yang menyebar ke seluruh bagian bangunan dan merusak batu candi. Hal ini menyebabkan masalah sehingga renovasi lebih lanjut diperlukan.