Borobudur

Borobudur: Kisah Megah dari Masa Lalu yang Tetap Hidup
Candi Borobudur

Di jantung Jawa Tengah, berdiri megah sebuah monumen yang tak hanya menjadi saksi bisu perjalanan waktu, tapi juga menjadi salah satu mahakarya terbesar umat manusia — Candi Borobudur. Terletak di Magelang, candi Buddha terbesar di dunia ini dibangun pada abad ke-8 Masehi oleh penganut Buddha Mahayana pada masa kejayaan Wangsa Syailendra.

Borobudur bukan sekadar tumpukan batu raksasa yang disusun membentuk stupa dan teras bertingkat. Ia adalah kitab batu yang memuat ribuan kisah, ajaran, dan filosofi kehidupan. Dari kejauhan, bentuknya menyerupai mandala raksasa, melambangkan alam semesta dalam ajaran Buddha. Dari dekat, setiap reliefnya memancarkan kehidupan masa lalu yang terpatri dalam ukiran halus batu andesit.

Awal Mula dan Pembangunan

Sejarawan memperkirakan Borobudur dibangun antara tahun 760 hingga 830 Masehi, di puncak kejayaan Wangsa Syailendra yang berkuasa atas Kerajaan Medang di Jawa Tengah. Butuh waktu sekitar 75 hingga 100 tahun untuk merampungkannya, hingga akhirnya berdiri kokoh pada masa Raja Samaratungga sekitar tahun 825 M.

Pembangunannya hampir bersamaan dengan pembangunan kompleks candi di Prambanan, namun Borobudur selesai lebih awal, sekitar 25 tahun sebelum dimulainya Candi Siwa di Prambanan. Bayangkan, tanpa teknologi modern, para leluhur kita mampu membangun struktur setinggi 42 meter dengan presisi yang luar biasa.

Masa Kejayaan yang Meredup

Pada awalnya, Borobudur menjadi pusat ziarah umat Buddha, tempat para peziarah melangkah naik dari kaki hingga puncak, melambangkan perjalanan spiritual menuju pencerahan. Namun, sekitar abad ke-10, candi ini mulai ditinggalkan.

Mpu Sindok, raja Kerajaan Medang, memindahkan pusat pemerintahan ke Jawa Timur, kemungkinan besar akibat letusan Gunung Merapi. Sejak itu, Borobudur perlahan terlupakan, tertutup tanah, debu vulkanik, dan semak belukar, hingga menyerupai bukit biasa.

Pada abad ke-14, nama Borobudur masih disebut secara singkat dalam naskah Negarakertagama karya Mpu Prapanca. Namun setelah Islam berkembang pesat di Jawa pada abad ke-15, candi ini benar-benar tenggelam dalam senyap sejarah.

Ditemukan Kembali

Kisah Borobudur kembali mencuat pada tahun 1814, saat Jawa berada di bawah pemerintahan Inggris. Thomas Stamford Raffles, gubernur jenderal kala itu, mendapat kabar tentang sebuah monumen besar di hutan dekat Desa Bumisegoro. Karena kesibukannya, ia mengutus H.C. Cornelius, seorang insinyur Belanda, untuk menyelidiki. Setelah membersihkan sebagian area yang tertutup tanah dan pepohonan, Cornelius menemukan kembali wajah Borobudur yang tersembunyi berabad-abad lamanya.

Namun, penemuan itu diiringi nasib malang. Selama abad ke-19, banyak artefak dan kepala arca Buddha dicuri, bahkan ada yang dihadiahkan secara resmi kepada Raja Thailand oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Upaya Pemugaran

Seiring waktu, Borobudur mulai diperbaiki. Upaya besar pertama dilakukan oleh Theodor van Erp pada 1907–1911. Pemugaran kedua dilakukan pada 1926, meski terhenti akibat krisis dan Perang Dunia II.

Pemugaran terbesar terjadi antara 1975–1982, berkat kerja sama pemerintah Indonesia dan UNESCO. Biaya pemugaran mencapai 7,75 juta dolar AS, menjadikan proyek ini salah satu penyelamatan monumen terbesar di dunia.

Pada 1991, Borobudur akhirnya diakui sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. Namun sejarah tak selalu mulus; pada 1985, candi ini sempat mengalami kerusakan akibat serangan bom, yang kemudian segera diperbaiki.

Keindahan Arsitektur dan Filosofi

Borobudur dirancang sebagai stupa raksasa dengan tiga tingkatan yang melambangkan perjalanan spiritual:

  • Kamadhatu (dunia nafsu), di bagian kaki.

  • Rupadhatu (dunia bentuk), di tubuh candi.

  • Arupadhatu (dunia tanpa bentuk), di bagian puncak.

Strukturnya terdiri dari enam teras bujur sangkar yang mengarah ke tiga pelataran melingkar di atasnya. Di puncaknya, berdiri stupa utama yang megah, dikelilingi 72 stupa berterawang berisi arca Buddha.

Tak kurang dari 2.672 panel relief menghiasi dinding candi, menggambarkan ajaran Buddha, kehidupan masa lalu, hingga detail kebudayaan Jawa kuno. Salah satu relief paling terkenal adalah gambaran Kapal Borobudur, yang menunjukkan kejayaan maritim Nusantara. Replikanya kini tersimpan di Museum Samudra Raksa, tak jauh dari kompleks candi.

Borobudur Hari Ini

Kini, Borobudur bukan hanya ikon pariwisata Indonesia, tetapi juga pusat perayaan keagamaan. Setiap tahun, ribuan umat Buddha berkumpul di sini untuk memperingati Trisuci Waisak.

Pada 11 Februari 2022, pemerintah menetapkan kembali Borobudur sebagai tempat ibadah resmi umat Buddha di Indonesia dan dunia. Di bawah cahaya matahari pagi atau temaram senja, Borobudur tetap memancarkan aura agung yang sama seperti seribu tahun lalu.

Penutup

Borobudur adalah bukti nyata bahwa warisan budaya tak hanya soal batu dan arsitektur, tetapi juga tentang perjalanan peradaban, keyakinan, dan kisah manusia. Dari masa kejayaan hingga keterlupaan, dari penemuan kembali hingga menjadi kebanggaan bangsa, Borobudur terus mengajarkan bahwa yang agung akan selalu menemukan jalannya kembali ke cahaya.

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top